Allah Swt telah menyeru hambaNya, baik
laki-laki maupun wanita dalam kapasitas mereka sebagai manusia. Allah
Swt berfirman:“Katakanlah, ‘Hai manusia sesungguhnya aku benar-benar
utusan Allah untuk kamu semua…" (QS. Al-A’raaf[7]: 158).
“Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat… “ (QS. Al Baqarah [2]: 43).
Semua seruan ini bersifat umum. Ini
menunjukkan, bahwa syariat Islam diperuntukkan bagi seluruh manusia,
baik laki-laki maupun wanita. Keumuman ini tetap pada keumumannya selama
tidak ada dalil-dalil tertentu yang mengkhususkannya.
Akan tetapi, ada beberapa hukum yang
dikhususkan untuk wanita dan tidak untuk laki-laki. Misalnya, wanita
tidak boleh mengerjakan shalat pada saat datangnya haidh dan nifas.
Contoh lain, Islam telah menetapkan bahwa kesaksian seorang wanita saja
sudah cukup di dalam perkara-perkara yang urusannya tidak disaksikan
kecuali oleh wanita, semisal masalah keperawanan dan penyusuan. Selain
itu terdapat juga beberapa hukum yang khusus untuk laki-laki semisal
kewajiban sholat Jumat.
Allah Swt berfirman: “Dan segala sesuatu
Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran
Allah.” (QS. Adz Dzaariyaat [51]: 49).
Berpasang-pasangan dalam konteks
laki-laki dan wanita di sini, bukan berarti satu pihak lebih diutamakan,
sedangkan yang lain tidak. Akan tetapi, keduanya merupakan dua sisi
yang saling melengkapi. Kedua-duanya diberi akal, naluri-naluri, dan
kebutuhan jasmani. Masing-masing memiliki kemampuan untuk saling
mempengaruhi, saling belajar mengajar, dan saling mendidik.
Allah Swt berfirman: “Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (QS. Ar Rahmaan [55]: 3-4)
Allah Swt telah menciptakan bentuk dan
faal tubuh tertentu pada laki-laki dan wanita. Sehingga, laki-laki
berbeda dari wanita dalam hal bentuk wajah, tubuh dan beberapa anggota
tubuh.
Perbedaan-perbedaan semacam ini menuntut
keduanya mendapat tugas-tugas tertentu dalam kehidupan yang berbeda satu
dengan yang lain. Terlebih lagi, hal-hal yang di dalamnya terdapat
perbedaan dalam hal pembentukan moral.
Oleh karena itu, menuntut kesetaraan pada
keduanya (laki-laki dan perempuan) dalam semua hal, merupakan tindak
kezaliman terhadap salah satu dari kedua belah pihak tersebut. Maha Suci
Allah dari hal yang demikian. Karena ada perbedaan dalam
pembentukannya, Allah telah memberi hukum syara’ khusus kepada
masing-masing dari keduanya; dimana, satu dengan lainnya berbeda. Dalam
hal ini Allah telah memposisikan wanita pada posisi yang sesuai dengan
dirinya.
Allah telah memberi kekhususan bagi wanita dengan beberapa hal berikut:
Pertama, Islam telah memberikan
tanggung jawab pengaturan rumah dan pendidikan anak kepada wanita. Sabda
Rasulullah Saw: “…dan wanita adalah pengurus rumah suaminya dan
anak-anaknya dan bertanggung jawab atas mereka semua.”
Kedua, Islam memberikan hak
hadlanah (pengasuhan) terhadap anak-anak yang masih kecil kepada wanita,
ketika ia berpisah dengan suaminya karena cerai, atau meninggal. Dalam
keadaan seperti itu, sang suami ataupun keluarga suami wajib memberikan
nafkah kepadanya.
Firman Allah Swt: “…Dan kewajiban ayah
memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”
(QS. Al Baqarah[2]: 233).
Ketiga, dalam rumah tangganya,
wanita berhak untuk diberi nafkah oleh suaminya. Sabda Rasul Saw: “Dan
bagi mereka (wanita) wajib atas kalian (suami) memberinya makan dan
pakaian dengan cara yang ma’ruf.”
Keempat, seorang wanita berhak
mendapatkan kehidupan yang tenteram dari suaminya. Firman Allah swt:
“…dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang…” (QS. Ar Ruum
[30]: 21).
Kelima, Allah telah melarang
wanita menduduki jabatan-jabatan pemerintahan, seperti khalifah, wali
(gubernur) ataupun Mahkamah Mazhaalim. Sabda Rasul Saw, “Tidak akan
pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum
wanita.”
Keenam, Islam memberikan
keringanan kepada wanita untuk tidak mengerjakan shalat dan puasa pada
bulan Ramadhan ketika sedang haid atau nifas.
No comments:
Post a Comment