Ada tiga jenis potong rambut yang tidak
harus meminta ijin kepada suami. Pertama, memotong sedikit rambut pada
waktu-waktu tertentu. Kedua, memotong rambut yang sudah menjadi kebiasan
istri dan suami pun terbiasa dengan hal itu. Ketiga, memotong rambut
agar tidak terlalu panjang dan agar tidak merepotkan ketika disisir.
Sedangkan memotong rambut yang mengubah
style atau paras, padahal suami telah terbiasa dengan style dan paras
tertentu, maka istri perlu meminta ijin kepada suami. Perubahan style
dan paras ini ada kalanya sangat berbeda dengan sebelumnya sehingga
suami terkejut seakan-akan ia bertemu dengan wanita lain. Jika suami
suka dengan potong rambut baru tersebut, mungkin tidak masalah. Namun
jika ternyata suami tidak suka, apalagi jika berdampak pada menurunnya
hasrat suami istri, tentu menjadi tidak baik. Karenanya potong rambut
yang mengubah style dan paras ini perlu kesepakatan suami istri agar
kasih sayang dan kecocokan terus terjaga.
Dalam Islam, seorang wanita tidak boleh
membuka rambutnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Wanita
tidak boleh membuka rambutnya di jalan dan di tempat-tempat umum
termasuk tempat kerja. Dengan demikian, yang bisa menikmati rambut
seorang istri pertama kali adalah suaminya sendiri. Karenanya ia perlu
mempertimbangkan untuk apa ia memotong rambut, tidak lain adalah agar
suaminya senang. Agar suaminya ridha dan makin cinta. Bukan untuk
siapa-siapa.
Seorang istri yang bijaksana adalah
seorang istri yang menjaga seluruh wasilah penumbuh dan pengekal kasih
sayang serta harmonisnya hubungan antara ia dan suaminya. Dengan ini
terwujudlah rumah tangga yang baik, yang merupakan pondasi bagi
terbentuknya masyarakat yang baik.
Dan jika seorang istri senantiasa
melakukan hal yang diridhai suaminya, sesungguhnya itu merupakan kunci
masuk surga. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita mana saja yang meninggal dunia lantas suaminya ridha padanya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Wallahu a’lam bish shawab.*Disarikan dari fatwa Syaikh DR Yusuf Qardhawi
No comments:
Post a Comment