Pada suatu malam, ketika Imam Syafi’i bertamu di sebuah rumah, penulis kitab al-Umm
ini sangat doyan menikmati semua makanan yang ada. Sebab makanan yang
tersaji sedikit, Imam Syafi’i mengumpulkan sisa-sisanya, lalu
menikmatinya.
Melihat keganjilan tersebut, sang anak dari tuan rumah pun bertanya, “Lihatlah tamu kita ini. Dia makan rakus sekali.”
Pasalnya, sang anak tuan rumah tidak
mengetahui siapakah tamu agung yang dia maksud. Kepada anaknya, sang
tuan rumah mengatakan, “Nak, tanyakan sendiri saja kepadanya.”
Tuan rumah yang ditamui oleh Imam Syafi’i malam itu adalah Imam Ahmad bin Hanbal sang penulis kitab Musnad.
Sedangkan anaknya yang heran melihat kelakuan Imam Syafi’i adalah
Abdullah bin Ahmad. Kata ‘rakus’ keluar dari mulut si anak sebab belum
mengenal tamunya sebelumnya.
Si anak pun memberanikan diri untuk
bertanya kepada Imam Syafi’i hingga terungkaplah rahasia di balik
antusiasnya sang imam berjuluk Nashirus Sunnah ini dalam mengumpulkan
sisa-sisa makanan, kemudian memakannya dengan amat lahap.
“Nak,” jawab Imam Syafi’i amat lembut,
“aku tahu, semua makanan di rumah keluarga Ahmad bin Hanbal berasal dari
sumber makanan yang paling halal di muka bumi ini. Terjamin halalnya.”
Makanan halal itulah yang menjadi sebab
utama keberkahan. “Demi Allah,” lanjut Imam Syafi’i, “aku berharap
berkah dari menikmati jamuan di rumah ini. Berkah itu amat berharga,
berkah inilah yang membuat kita kuat untuk menaati Allah Ta’ala di
setiap keadaan.”
Alasan itulah yang membuat Imam Syafi’i
sangat bersemangat hingga disebut oleh Abdullah bin Ahmad dengan kata
‘rakus’. “Maka,” tutup Imam Syafi’i mengakhiri penjelasannya, “aku tidak
akan membiarkan satu remah pun tercecer dan sia-sia. Aku pun menyantap
semua sajian hingga tak tersisa.”
Alangkah agungnya makanan di rumah Imam
Ahmad bin Hanbal ini. Hingga Imam Syafi’i pun bertindak demikian.
Alangkah agungnya pula Imam Syafi’i, yang tak malu menunjukkan
‘kerakusannya’ demi makna berkah dalam sisa-sisa makanan. Padahal, semua
kehidupan Imam Syafi’i adalah keberkahan lain yang amat menakjubkan;
bagi diri, lingkungan, dan kaum Muslimin.
Mari niatkan untuk meneladani mereka yang
mulia ini. Yang mengedepankan akhirat dalam setiap perbuatannya. Yang
tak malu bertanya terkait sesuatu yang tidak diketahui olehnya.
[Pirman/Kisahikmah]
No comments:
Post a Comment