Sunday, 15 November 2015

Pendeta Banting Patung Yesus di Depan Jemaat akbitat stres


“Berkurang satu,” kata sang pendeta sambil membanting sebuah patung Yesus yang ada di gereja. Sontak, hal itu membuat para jemaat kaget dan marah. Namun, sang pendeta beralasan dirinya stres dan kelelahan.
Peristiwa itu terjadi di Gereja Plestin les Greves, Brittany, Perancis. Menurut Pendeta Gerard Nicole, sebelum membanting patung tersebut, Jean-Jacques Le Roy pernah mengatakan bahwa dirinya tidak suka dengan gaya ukiran patung tersebut.
Le Roy juga pernah dilaporkan membanting patung di depan pasangan menikah. Namun, dirinya berdalih tidak sengaja. Saat itu ia mengecek apakah patung tersebut telah menempel di dinding atau belum. Rupanya, menurutnya, ia mendorong patung terlalu keras sehingga terjatuh. Bukan karena faktor kesengajaan.
“Kami diminta banyak hal di kementerian. Sedangkan jumlah pendeta tidak banyak. Itu menyebabkan kelelahan, stres,” ujar Le Roy.
Ia pun minta maaf atas insiden tersebut. Namun, para jemaat telah mengajukan komplain ke uskup atas tindakannya.

Saturday, 14 November 2015

BUAH PENANGKAL RACUN DAN SIHIR



Dari sekian banyak ilmu pengobatan yang disabdakan Nabi (thibbun nabawi), ini merupakan salah satu rahasia yang paling menarik; buah penangkal racun dan sihir.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنِ اصْطَبَحَ كُلَّ يَوْمٍ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً ، لَمْ يَضُرُّهُ سَمٌّ وَلاَ سِحْرٌ ذَلِكَ الْيَوْمَ إِلَى اللَّيْلِ

“Barangsiapa makan beberapa kurma ajwa di setiap pagi hari, maka racun dan sihir tidak akan mendatangkan mudharat kepadanya pada hari itu hingga malam” (HR. Bukhari)

Ya, buah tersebut tidak lain adalah kurma ajwa. Namun tidak otomatis ketika ia dimakan, atas izin Allah ia menjadi penangkal racun dan sihir melainkan ada ketentuan waktu dan jumlahnya. Waktu memakannya adalah pagi hari. Lalu berapa jumlahnya? Pada hadits tersebut disebutkan beberapa. Artinya lebih dari satu. Berapa tepatnya? Hadits yang lain menjelaskan:

مَنِ اصْطَبَحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةٍ لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سَمٌّ وَلاَ سِحْرٌ

“Barangsiapa pagi hari makan tujuh kurma ajwa, maka racun dan sihir tidak akan mendatangkan mudharat baginya pada hari itu” (HR. Bukhari)

Ternyata jumlah kurma ajwa yang dimakan di pagi hari sehingga dapat menghindarkan dari racun dan sihir itu adalah tujuh buah.

Lalu, apa itu kurma ajwa? Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa yang dimaksud kurma ajwa adalah kurma yang ditanam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah. Ia merupakan kurma yang paling lembut di Madinah.

Yang juga menjadi batasan dalam kedua hadits tersebut, manfaat kurma ajwa sebagai penangkal disebutkan bahwa waktunya adalah pagi hingga malam. Tidak bersifat mutlak bahwa begitu makan kurma ajwa selalu kebal dari racun dan sihir, melainkan hanya ditangkal mulai pagi itu hingga malam harinya. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/IKB]

Mencukur rambut tidak rata (qoza') dilarang dalam Islam.



Apa itu qoza’? Qoza’ adalah memotong rambut secara tidak rata sehingga sebagian dicukur habis (dibotaki), sebagian lainnya tidak dipotong atau dibiarkan panjang. Di zaman sekarang, banyak model qoza’ terutama dilakukan oleh anak muda. Umumnya qoza’ di masa kini membentuk motif tertentu baik seperti ukiran, suatu lambang, atau hanya garis saja.

Qoza’ ternyata telah dijumpai pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Saat itu, qoza’ biasanya dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Sedangkan bagi umat Islam, Rasulullah menegaskan bahwa qoza’ merupakan perbuatan yang dilarang.

عَنْ نَافِعٍ مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ – رضى الله عنهما – يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَنْهَى عَنِ الْقَزَعِ

Dari Nafi’ Maula Abdullah bahwa ia mendengar Ibnu Umar radhiyallahu anhuma mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang qoza’ (HR. Bukhari)

Hadits lain melalui jalur Anas bin Malik juga menegaskan larangan yang sama

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنِ الْقَزَعِ

Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang qoza’ (HR. Bukhari)

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan qoza’ adalah:

يُحْلَقُ بَعْضُ رَأْسِ الصَّبِىِّ وَيُتْرَكُ بَعْضٌ

Mencukur sebagian rambut dan membiarkan sebagian lainnya (HR. Muslim)

Rasulullah juga pernah melihat qoza’ secara langsung lalu beliau melarangnya.

رأَى رسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – صَبِيّاً قَدْ حُلِقَ بَعْضُ شَعْرِ رَأسِهِ وَتُرِكَ بَعْضُهُ ، فَنَهَاهُمْ عَنْ ذَلِكَ ، وقال : احْلِقُوهُ كُلَّهُ ، أَوِ اتْرُكُوهُ كُلَّهُ

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melihat anak yang dicukur sebagian rambutnya dan dibiarkan sebagian lainnya, maka beliau melarang hal itu dan bersabda: “Cukurlah seluruhnya atau biarkan seluruhnya” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa para ulama telah sepakat bahwa qoza’ ini hukumnya makruh. Kecuali jika untuk keperluan tertentu seperti bekam atau pengobatan. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/IKB]

Friday, 13 November 2015

Astaghfirullah, Ustadz Artis M Nur Maulana Nyatakan Soal Kepemimpinan tak Usah Bicara Agama


Para pemirsa Muslim pasti mengenal sosok Ustadz M Nur Maulana yang setiap pagi berceramah dalam program Islam itu Indah di sebuah televisi swasta.
Seperti dilansir halaman Fanpage Facebook, Front Pembela Islam – FPI, Ustadz Maulana dalam ceramahnya, pada Senin (9/11/2015), pagi tadi melontarkan sebuah pernyataan yang tidak sepantasnya terucap dari mulut seorang dai.
Saat menyinggung sebuah perkara kepemimpinan, pernyataan Ustadz Maulana justru menabrak syariat Islam.
Ah agamanya beda? kalau kita membahas kepemimpinan tidak usah bicara agama. Kepemimpinan itu tidak berbicara masalah agama. Jadi kau tidak mau naik pesawat kalau pilotnya agama lain? jadi berbicara seperti ini jangan ada black campaign,” tutur Ustadz Maulana dengan lugas.
Menyikapi hal tersebut, laman Fanpage FPI menyampaikan nasihat terbuka tentang haramnya memilih pemimpin kafir.
“Kita ingatkan secara terbuka kepada Ustad artis itu, bahwa memilih pemimpin Non Islam adalah diharamkan oleh Allah SWT:
DALILNYA:
“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kuff4r menjadi wali/pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS ALI IMRAN : 28).
” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS AL MAA-IDAH : 51).
“Adapun orang-orang yang kuffar, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS AL ANFAAL : 73).
Semoga kritik dan nasihat dari FPI tersebut didengar Ustadz Maulana dan ia segera bertaubat dari kesalahannya. [AW]
Link Video:

Thursday, 12 November 2015

Suami-Istri Tidak Boleh Meninggalkan Hubungan. Mengapa?


SEORANG Muslim hendaknya tidak meninggalkan berhubungan suami istri . Sebagaimana sumur, apabila airnya tidak diambil, rnaka airnya akan sirna/lenyap dengan sendirinya.
Muhammad bin Zakariya berkata: “Barangsiapa meninggalkan hubungan dalam jangka waktu yang sangat lama, kekuatan otot-ototnya akan melemah, salurannya akan tersumbat, dan organ intimnya akan mengerut.”
la mengatakan: “Aku menjumpai sekelompok orang meninggalkan perkara ini dalam rangka menjalankan taqasysyuf (kehidupan yang meninggalkan kesenangan duniawi seperti hubungan suami istri yang merupakan kesenangan duniawi yang tertinggi). Maka dinginlah badan-badan mereka, gerakan mereka menjadi sulit/lamban, dan pada mereka akan muncul rasa sedih tanpa sebab, dan pada akhirnya melemahlah syahwat mereka.”
Dan di antara manfaat hubungan adalah:
1. Tertunduknya pandangan.
2. Menahan diri.
3. Kemampuan untuk menjaga kehormatan dari perkara yang diharamkan.
Dan perkara di atas juga didapati oleh wanita. Maka berhubungan itu bermanfaat bagi dirinya di dunia dan akhirat, dan bermanfaat pula bagi wanita. Oleh karena itu Rasulullah صلي الله عليه وسلم sangatlah menyukai perkara ini, sebagaimana dalam sabdanya:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ
“Dijadikan kecintaan bagiku dari dunia kalian: para wanita dan wewangian.” (Diriwayatkan oleh Ahmad (3/128,199,285), An-Nasai (7/61) dalam ‘Isyratun Nisa’, Bab: Hubbun Nisa’, dari hadits Anas bin Malik, dan sanadnya hasan, dishahihkan oleh Al-Hakim)
Dan dalam Az-Zuhd karya Al-lmam Ahmad, di dalam hadits tersebut ada sedikit tambahan, yaitu:
أَصْبِرَ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَلاَ أَصْبِرُ عَنْهُنَّ
“Aku bisa sabar dari makan dan minum, akan tetapi aku tidak bisa sabar dari mereka (para wanita).”
Dan beliau menganjurkan umatnya untuk menikah melalui sabdanya:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian, sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat. ” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan lafadz ini di dalam Syu’abul Iman dari hadits Abu Umamah. Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud (2050) dan An-Nasa’i (6/65j66) dari hadits Ma’qil bin Yasar secara marfu’ dengan lafadz (yang artinya): “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat.” Sanadnya hasan. Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Anas bin Malik, diriwayatkan oleh Ahmad (3/158,245) dan sanadnya hasan, dan dishahihkan oleh lbnu Hibban (1228) []
Sumber: Ibnu Qayyim pada Kitab Za’adul  Maad fi Hadyi Kharil ‘Ibaad Juz 4

Beri Sedekah pada Pengemis yang Pura-Pura Miskin, Bolehkah?

Bolehkah kita beri sedekah pada pengemis yang pura-pura miskin?

Hukumi Seseorang Sesuai Lahiriyah

Ingatlah kita hanya punya tugas menghukumi seseorang sesuai lahiriyah yang kita lihat, karena tak bisa menerawang isi hatinya. Pelajaran ini bisa kita ambil dari kisah Usamah bin Zaid berikut ini.
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami ke daerah Huraqah dari suku Juhainah, kemudian kami serang mereka secara tiba-tiba pada pagi hari di tempat air mereka. Saya dan seseorang dari kaum Anshar bertemu dengan seorang lelakui dari golongan mereka. Setelah kami dekat dengannya, ia lalu mengucapkan laa ilaha illallah. Orang dari sahabat Anshar menahan diri dari membunuhnya, sedangkan aku menusuknya dengan tombakku hingga membuatnya terbunuh.
Sesampainya di Madinah, peristiwa itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bertanya padaku,
« يَا أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ » قُلْتُ كَانَ مُتَعَوِّذًا . فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّى لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ
Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya ingin mencari perlindungan diri saja, sedangkan hatinya tidak meyakini hal itu.” Beliau bersabda lagi, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?” Ucapan itu terus menerus diulang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saya mengharapkan bahwa saya belum masuk Islam sebelum hari itu.” (HR. Bukhari no. 4269 dan Muslim no. 96)
Dalam riwayat Muslim disebutkan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَقَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَقَتَلْتَهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلاَحِ. قَالَ أَفَلاَ شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لاَ فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَىَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّى أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ
“Bukankah ia telah mengucapkan laa ilaha illallah, mengapa engkau membunuhnya?” Saya menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu semata-mata karena takut dari senjata.” Beliau bersabda, “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” Beliau mengulang-ngulang ucapan tersebut hingga aku berharap seandainya aku masuk Islam hari itu saja.”
Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Nawawi menjelaskan bahwa maksud dari kalimat “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” adalah kita hanya dibebani dengan menyikapi seseorang dari lahiriyahnya dan sesuatu yang keluar dari lisannya. Sedangkan hati, itu bukan urusan kita. Kita tidak punya kemampuan menilai isi hati. Cukup nilailah seseorang dari lisannya saja (lahiriyah saja). Jangan tuntut lainnya. Lihat Syarh Shahih Muslim, 2: 90-91.

Setiap Orang Akan Diganjar Sesuai yang Ia Niatkan

Coba ambil pelajaran dari hadits berikut.
Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al-Akhnas radhiyallahu ‘anhum, -ia, ayah dan kakeknya termasuk sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, di mana Ma’an berkata bahwa ayahnya yaitu Yazid pernah mengeluarkan beberapa dinar untuk niatan sedekah. Ayahnya meletakkan uang tersebut di sisi seseorang yang ada di masjid (maksudnya: ayahnya mewakilkan sedekah tadi para orang yang ada di masjid, -pen). Lantas Ma’an pun mengambil uang tadi, lalu ia menemui ayahnya dengan membawa uang dinar tersebut. Kemudian ayah Ma’an (Yazid) berkata, “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan padamu.” Ma’an pun mengadukan masalah tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ ، وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ
Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Ma’an, engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati.” (HR. Bukhari no. 1422)
Dari hadits ini, Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Orang yang bersedekah akan dicatat pahala sesuai yang ia niatkan baik yang ia beri sedekah secara lahiriyah pantas menerimanya ataukah tidak.” (Fath Al-Bari, 3: 292)
Hal di atas sesuai pula dengan hadits Umar, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى
Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Misal, ada pengemis yang mengetok pintu rumah kita, apakah kita memberinya sedekah ataukah tidak? Padahal nampak secara lahiriyah, dia miskin. Jawabannya, tetap diberi. Kalau pun kita keliru karena di balik itu, bisa jadi ia adalah orang yang kaya raya, tetap Allah catat niat kita untuk bersedekah. Sedangkan ia mendapatkan dosa karena memanfaatkan harta yang sebenarnya tak pantas ia terima.
Begitu pula kalau ada yang menawarkan proposal pembangunan masjid. Secara lahiriyah atau zhahir yang nampak, kita tahu yang sodorkan proposal memang benar-benar butuh. Lalu kita berikan bantuan. Bagaimana kalau dana yang diserahkan disalahgunakan? Apakah kita tetap dapat pahala? Jawabannya, kita mendapatkan pahala sesuai niatan baik kita. Sedangkan yang menyalahgunakan, dialah yang mendapatkan dosa.
Subhanallah … Mulia sekali syariat Islam ini.

Jangan Manjakan Pengemis dan Pengamen Jalanan

Kami hanya nasehatkan jangan manjakan pengemis apalagi pengemis yang malas bekerja seperti yang berada di pinggiran jalan. Apalagi dengan mengamen, melantunkan nyanyian musik yang haram untuk didengar. Kebanyakan mereka malah tidak jelas agamanya, shalat juga tidak. Begitu pula sedikit yang mau perhatian pada puasa Ramadhan yang wajib. Carilah orang yang shalih yang lebih berhak untuk diberi, yaitu orang yang miskin yang sudah berusaha bekerja namun tidak mendapatkan penghasilan yang mencukupi kebutuhan keluarganya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ، وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا
Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan, lantas ia pun malu atau tidak meminta dengan cara mendesak.” (HR. Bukhari no. 1476)

Wednesday, 11 November 2015

Kisah Pemuda Muslim Membongkar Kebobrokan Nikah Mut’ah


Salah satu ajaran syiah yang terkenal adalah nikah mut’ah. Yakni perkawinan dengan mahar tertentu untuk jangka waktu sementara, baik dalam hitungan bulan, minggu, atau hari, bahkan jam.
Sayyid Husein Al Musawi, seorang tokoh Syiah dari kota Najaf yang kemudian bertaubat, menceritakan kisah seorang pemuda membongkar kebobrokan nikah mut’ah dan mempemalukan Imam Syiah di kota itu.
Hari itu, Al Musawi duduk bersama Imam Al Khaui di kantornya. Tak lama kemudian datanglah dua orang laki-laki; seorang pemuda dan seorang lagi agak tua. Mereka mengaku ingin berkonsultasi kepada Al Khaui.
“Wahai Sayid, kami ingin menanyakan tentang nikah mut’ah apakah halal atau haram?” tanya sang pemuda.
“Engkau tinggal di mana?” tanya Al Khaui sambil menyelidiki pemuda di depannya itu. Umumnya pemuda Syiah tidak bertanya lagi hukum nikah mut’ah.
“Aku dari Mosul. Aku tinggal di Najaf sejak dua bulan yang lalu.”
“Berarti engkau seorang sunni?”
“Iya. Aku di sini sejak dua bulan yang lalu. Aku kesepian. Maukah engkau menikahkan aku dengan putrimu dengan cara mut’ah?”
Mendengar permintaan tak sopan ini, Al Khaui membelalakkan matanya. Emosinya terpancing. “Aku ini pembesar. Mut’ah itu haram bagi pembesar, halal bagi kalangan awam dari pengikut syiah”
Sang pemuda tersenyum. Ada kepuasan di wajahnya. Namun tidak demikian dengan pria di sampingnya. Ia seperti memendam kemarahan. Namun dialog berakhir di situ. Mereka segera pergi dari kantor itu.
Al Musawi yang saat itu masih Syiah segera menyusul mereka berdua. Ternyata keduanya sedang memperdebatkan masalah nikah mut’ah. Pemuda Sunni berpendapat nikah mut’ah haram sedangkan pria Syiah berpendapat nikah mut’ah adalah halal. Mereka kemudian bersepakat untuk bertemu Al Khauli. Tapi mendengar pernyataan Al Khaui tadi, pria syiah itu geram.
“Wahai orang-orang durhaka, kalian membolehkan nikah mut’ah kepada anak-anak gadis kami, dan mengabarkan bahwa hal itu halal serta mendekatkan diri kepada Allah, namun kalian mengharamkan kepada kami untuk nikah mut’ah dengan anak-anak gadis kalian,” kata pria itu kepada Al Musawi. Ia pun bersumpah akan keluar dari Syiah.