"Kembali" Dengan Cinta
Oleh Ustadz Hatta Syamsuddin*
Hari ini mendapat berita yang unik sekaligus mengharukan. Seorang
politikus, anggota dewan sebuah partai nasionalis meninggal dan
dimakamkan dengan diantar mobil layanan PKS.
Unik, karena partai tempat sang politikus beraktifitas selama ini juga
dikenal mempunyai beberapa mobil layanan sejenis, mengapa tidak
digunakan untuk mengantarkan salah satu kader terbaiknya? Mengharukan,
karena ternyata almarhum berwasiat khusus sebelum meninggal, agar
dimakamkan dengan diantar mobil layanan PKS, bukan yang lainnya.
Tentu hal ini menjadikan sebagian pelayat yang hadir mengernyitkan dahi
dan bertanya-tanya. Mengingat sejarahnya partai nasionalis tersebut
hampir selalu menjadi “lawan politik” PKS dibeberapa kesempatan, dari
pemilu, pilpres hingga pilkada. Perbedaan ideologis yang diusung kedua
partai tersebut pun kerap menjadikan massa akar rumputnya seolah selalu
berhadap-hadapan, baik di dunia nyata, apalagi di dunia maya.
Ternyata kejadian mengharukan diatas bukanlah hal sederhana, kita bisa
menjadikannya sebagai inspirasi sekaligus mengambil pelajaran. Kejadian
yang bermula dari ‘wasiat’ di atas mengantarkan saya pada kenangan sosok
Buya Hamka. Politisi, ulama sekaligus sastrawan muslim ini ternyata
beberapa kali juga mendapatkan wasiat yang serupa dari musuh-musuh
politiknya.
Yang pertama adalah Bung Karno, yang saat itu memaksakan ideologi
nasakomnya, Buya Hamka turut menjadi korban. Beliau dipenjarakan oleh
pemerintahan orde lama sepanjang 2 tahun 4 bulan dengan tuduhan
subversif. Bukan itu saja, bahkan karya-karyanya juga ditarik dari
peredaran. Buya Hamka menggunakan waktunya di tahanan untuk
menyelesaikan kitab Tafsir Al Azhar yang monumental.
Roda zaman berputar. Hamka bebas dari penjara sementara Bung Karno
kehilangan kekuasaannya, mulai diasingkan dan jatuh sakit-sakitan. Lama
tak ada komunikasi antara keduanya. Hingga pada Juni 1970 Bung Karno
menyampaikan pesan ke Buya Hamka melalui Mayjen Soeryo sang ajudan, yang
berbunyi “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam
shalat jenazahku..”. Pesan itu diterima Buya Hamka bersaman dengan
wafatnya Bung Karno. Maka ia segera berangkat untuk melihat jenazah Bung
Karno dan kemudian menjadi imam sholat jenazahnya. Beberapa pelayat
yang hadir tak kuasa menahan air mata menyaksikan momentum mengharukan
tersebut. Permusuhan dan kebencian ada batasnya.
Sosok lain yang tak kalah keras pertentangannya dengan Buya Hamka adalah
Muhammad Yamin. Meskipun sama-sama berasal dari Sumatera Barat, namun
diantara keduanya terjadi pertentangan dalam masalah ideologi
perjuangan. Pertentangan ini kerap muncul dan meledak dalam
sidang-sidang Majlis Konstutiante. Buya Hamka yang berasal dari Masyumi
kokoh dan teguh memperjuangkan Islam sebagai dasar bernegara, sementara
Muhammad Yamin dari PNI adalah seorang nasionalis yang cenderung
sekuler. Kebenciannya kepada Buya Hamka begitu terasa dan diketahui
banyak orang karena diulang-ulang oleh Muhammad Yamin dalam berbagai
kesempatan berbicara dan berpidato.
Tapi kebencian dan permusuhan itu ada batasnya. Tahun 1962 Muhammad
Yamin jatuh sakit dan dirawat di RSPAD selama beberapa hari terus
bertambah parah, hingga kemudian menyuruh Chairul Shaleh untuk
menyampaikan pesannya kepada Buya Hamka. Pesan itu berisi "Bila saya
wafat, tolong Hamka bersedia menemani di saat-saat akhir hidupku dan
ikut mengantar jenazahku ke kampung halamanku di Talawi." Chaerul Saleh
juga menambahkan bahwa, Yamin khawatir, masyarakat Talawi, Sumatera
Barat, tempatnya berasal, tidak berkenan menerima jenazahnya.
Mendengar hal tersebut, Hamka segera menemui Yamin yang tergolek lemah.
Takdir Allah indah menggoreskan Hamka menemani Yamin disaat-saat
akhirnya, dengan kedua tangan berjabat erat, bahkan Hamka masih sempat
melantunkan Al Fatihah dan kalimat tauhid dengan lembut di telinga
Yamin. Hamka pun menunaikan janji dengan mengantarkan Yamin ke tempat
peristirahatannya terakhir di Talawi.
Dua kejadian di atas menggoreskan pertanyaan dalam hati? Hal apakah yang
kiranya menggerakkan hati yang lama berjauhan bahkan bermusuhan untuk
bersatu mendekat penuh harap? Saya tidak melihat kecuali keistiqomah,
kejujuran dan ketulusan Buya Hamka dalam memperjuangkan dan mengamalkan
syariat Islam lah yang menjadikan hati-hati yang dulu begitu membenci,
memusuhi dan menentang, dalam akhir hidupnya harus mengakui dengan jujur
bahwa Hamka dengan ideologi Islamnya lah yang layak menjadi teman
menuju peristirahan terakhir.
Hari-hari ini begitu banyak para pembenci dan penentang dakwah Islam,
memusuhi tanpa henti siang dan malam, baik dengan tusukan jari jemari di
dunia maya maupun lirikan sinis yang terpendam saat berpapasan. Jika
para aktifis dakwah bisa mencontoh Buya Hamka yang terus istiqomah
dengan ketulusan, kejujuran, dalam memperjuangkan apa yang diyakininya,
maka insya Allah benih-benih permusuhan itu tidak akan abadi. Tanpa
perlu harus menunggu di ujung usia, bisa jadi cinta akan menggantikan
kebencian.
Sebagaimana Pramodya Ananta Toer yang sudah kenyang memusuhi Hamka pada
masa "Prahara Budaya" di orde lama. Ternyata saat akan menikahkan
putrinya dengan seorang pria Tionghoa non muslim, ia meminta calon
menantu untuk masuk Islam dan belajar Islam terlebih dahulu pada Buya
Hamka. Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal tersebut, dengan tegas
Pramudya menyampaikan "Saya lebih mantap mengirim calon menantuku untuk
diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham
politik."
Sama dengan kisah Pramudya, saya sering mendengar testimoni tentang
beberapa tokoh partai nasionalis di suatu daerah, dimana mereka dengan
rela dan bangga berbondong-bondong menyekolahkan putra-putrinya di
sekolah Islam yang dikelola oleh para aktifis dakwah. Dalam hal
pendidikan terbaik, mereka mempercayakan tarbiyah Islam sebagai solusi.
Maka kebencian dan permusuhan itu pastilah akan tergerus dengan
keistiqomahan dan ketulusan para aktifis dakwah, dan berganti dengan
cinta. Sebuah cinta terhadap ajaran yang fitrah, yang jika tidak saat
ini maka diujung masa akan banyak jiwa-jiwa yang kembali mendekat.
Sayup-sayup terdengar senandung di masa lalu:
“Cinta kan membawamu … kembali di sini,
menuai rindu, membasuh perih”
__
*Sumber:
http://www.indonesiaoptimis.com/2015/11/kembali-dengan-cinta.html